MEDIA INDONESIA NEWS
Opini
Olah Raga
Hiburan
Media Indonesia News Pilar Negara Dalam Mencegah dan Memberantas Korupsi, Sinergis Bersama Penegak Hukum

NASIONAL

11 Juni 2024,    20:08 WIB

Politik Hukum Pidana dan Tindakan Dalam KUHP


***/Tb/01

Politik Hukum Pidana dan Tindakan Dalam KUHP

Foto dok: Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta

YOGYAKARTA-mediaindonesianews.com - Penulis sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) telah mengikuti Kegiatan Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan, pada hari Selasa tanggal 04 Juni 2024 di Yogyakarta. Tema mengenai RPP tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan ini sangat menarik dengan Narasumber dari beberapa Ahli antara lain Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, SH., Mhum (UGM), Dr. Putri Ayu Wulandari, SH., MH alumni Universitas Airlangga (UNAIR) yang bertugas sebagai Koordinator pada Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY), Andreas Nathaniel Marbun, SH., LLM (UI).

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanggal 2 Januari 2023, mengawali era baru hukum pidana di Indonesia. Meskipun telah disahkan, Undang-Undang ini baru akan berlaku pada 3 (tiga) tahun setelah diundangkan, yakni tanggal 2 Januari 2026. Oleh karena itu untuk mempersiapkan keberlakuan Undang-Undang ini diantaranya peraturan pelaksana dari KUHP salah satunya RPP tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan yang merupakan perintah Pasal 111 dan Pasal 124 KUHP. Tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 51 KUHP mencakup :

1. Mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan

4. Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

KUHP menganut double track system yakni sistem pemidanaan yang tidak sekedar mencakup pidana yang punitif, tetapi juga mencakup tindakan sebagai putusan yang bersifat memperbaiki atau mendidik, dan sekaligus melindungi masyarakat.

Menurut Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, SH., Mhum, dalam hal bentuk pidana tambahan, tata cara pelaksanaan pidana terdapat dua hal yaitu apakah termasuk hukum eksekusi atau masuk kedalam hukum pelaksanaan pidana (Penitentiere). Jika pelaksanaan pidana yang dimaksud adalah tata cara pelaksanaan vonis hakim/ eksekusi maka banyak masalah yang harus dijawab, karena KUHAP hanya mengatur dalam 7 Pasal dan sangat sumir yaitu Pasal 270 sampai Pasal 76 (kapan eksekusi harus dimulai, berapa lama penyampaian putusan dari Panitera kepada Penuntut Umum, berapa lama dari Penuntut Umum ke Kajari, kapan Kajari menunjuk Jaksa selaku eksekutor, kapan dan bagaimana Jaksa melaksanakan Vonis Hakim).

Namun apabila yang dimaksud tata cara pelaksanaan pidana adalah hukum pelaksanaan pidana (hukum Penitentiere), maka perlu disiapkan lembaga Penitentiere yaitu lembaga pidana mati, lembaga pidana penjara, lembaga pidana denda, lembaga pengawasan, lembaga kerja sosial dan lembaga pidana tutupan, lembaga pidana tambahan, lembaga tindakan serta lembaga pidana tutupan. Perubahan Lembaga Pemidanaan dalam hal lembaga pidana mati, telah mengalami perubahan sehubungan dengan adanya pidana mati percobaan. Lembaga pidana penjara, meskipun spiritnya KUHP untuk mengurangi Over Capacity dan mencegah pidana penjara jangka pendek, tetapi masih dimungkinkan Hakim menjatuhkan pidana penjara jangka pendek (lebih rendah dari maksimum pidana pengawasan/pidana kerja sosial). Beberapa kunci yang seyogianya menjadi pegangan dalam pelaksanaan pidana adalah :

1. Undang-Undang ini mendasarkan diri dari pemikiran aliran Neo-Klasik yang menjadi keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/sikap batin).

2. Yang mempengaruhi penyusunan UU ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology) yang berkembang setelah PD II, yang menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.

3. Masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal yang bermanfaat.

4. Disamping dijatuhi pidana dalam hal tertentu, terpidana juga dapat dikenai tindakan dengan maksud untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dan mewujudkan tata tertib sosial.

Menurut Narasumber Dr. Putri Ayu Wulandari, SH., MH mengenai Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana Pokok, Pidana Tambahan dan Tindakan Bagi Orang, pada Pasal 111 KUHP menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 68 sampai 110 diatur dengan Peraturan Pemerintah, dalam hal Pidana Tutupan, Pidana Pengawasan dan Pidana Kerja Sosial secara keseluruhan berorientasi pada Tujuan Pemidanaan sebagaimana dimaksud pada Pasl 51 KUHP. Peraturan Pemerintah sebagai salah satu rantai dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam pembentukannya haruslah melihat norma-norma moral yang ada dan menjunjung nilai-nilai keadilan serta kemanfaatan.

Fungsi dari Peraturan Pemerintah ini nantinya sebagai sarana untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam dan lebih detail terkait dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHP. Kejaksaan memiliki peran sentral selaku Dominus Litis dalam mengawal dan menjadi pengendali penyusunan peraturan pelaksana KUHP, termasuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).

Oleh karenanya Kejaksaan menyusun langkah-langkah strategis sesuai dengan tugas dan fungsinya dengan melakukan koordinasi masukan dan pandangan Kejaksaan RI antar lembaga terkait lainnya. Kejaksaan RI sangat berkepentingan dalam menyusun Draft RPP yang tidak hanya sebatas pada jenis pemidanaan namun terkait juga tugas, fungsi, tindakan dan kebijakan dalam KUHP yang beririsan dengan Tugas dan Fungsi Jaksa/Penuntut Umum. Pembahasan dalam Draft RPP telah dikupas oleh narasumber mengenai pengertian Jaksa dan Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, serta pelaksanaan Pidana Tutupan, Pidana Pengawasan, Pidana Kerja Sosial.

Lebih lanjut narasumber Andreas Nathaniel Marbun, SH., LLM menyampaikan terkait Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana Pokok, Pidana Tambahan dan Tindakan Bagi Koorporasi, dalam hal ini tidak terlepas dari teori pertanggungjawaban korporasi, teori identifikasi, teori agregasi. Dalam teori pertanggungjawaban korporasi, pertanggungjawaban pengganti merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai/bawahan tanpa melihat kedudukan pegawai melakukan tindak pidana, didasarkan pada prinsip employment principle yaitu majikan bertanggungjawab atas tindakan pegawainya sehingga organisasi bertanggungjawab kolektif atas anggotanya. Syarat umum dari pertanggungjawaban pengganti adalah tindak pidana dilakukan dalam ruang lingkup kewenangannya dan tindak pidana dilakukan untuk menguntungkan korporasi.

Menurut teori identifikasi, korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pimpinan korporasi/pengurus. Menurut teori Agregasi adalah pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada penjumlahan kesalahan dari beberapa individu yang mewakili. Hal yang perlu diatur dalam KUHP adalah sanksi bagi BUMN dan BUMD yang bertentangan dengan prinsip kebermanfaatan serta beberapa upaya paksa yang tidak dapat dilakukan terhadap BUMD dan BUMD.

Kegiatan Forum Group Discussion (FGD) ini sangat bermanfaat guna memperoleh masukan dari lembaga terkait atau akademisi sebagai bentuk partisipasi yang bermakna (meaningfull participation) maka kegiatan ini dilaksanakan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota Pelajar dan kota Budaya.